Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan durasinya 0-3 hari. Terjadi hemostasis (penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi sementara dari pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Scab (keropeng) juga dibentuk di permukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.
Fase inflamatori juga memerlukan pembuluh darah dan respon seluler yang digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati. Jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan histamin dan mediator lain, sehingga menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih utuh serta meningkatnya suplai darah ke daerah tersebut, sehingga daerah luka menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler darah meningkat dan cairan yang kaya akan protein mengalir ke dalam spasium interstitial, menyebabkan edema lokal dan mungkin hilangnya fungsi di atas sendi tersebut.
Leukosit polimorfonuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi keluar dari kapiler dan masuk ke daerah yang cedera.
Fase ini adalah bagian yang esensial dari proses penyembuhan luka. Maka, jika fase ini diperpanjang oleh adanya jaringan yang mengalami devitalisasi terus menerus, adanya benda asing, pengelupasan jaringan yang luas, trauma kambuhan, atau oleh obat topikal untuk luka yang tidak tepat, penyembuhan diperlambat dan kekuatan regangan luka menjadi tetap rendah. Sejumlah besar sel tertarik ke daerah yang rusak untuk bersaing mendapatkan gizi yang tersedia, inflamasi yang terlalu banyak dapat menyebabkan granulasi yang berlebihan pada fase III dan dapat menyebabkan jaringan parut hipertrofik. Ketidaknyamanan karena edema dan denyutan pada tempat luka juga menjadi berkepanjangan.
Fase Destruktif
Pada fase ini terjadi pembersihan terhadap jaringan mati dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf menelan dan menghancurkan bakteri. Tingkat aktivitas polimorf yang tinggi hidupnya singkat saja dan penyembuhan dapat berjalan terus tanpa keberadaan sel tersebut. Meski demikian, penyembuhan berhenti bila makrofag mengalami deaktivasi. Makrofag tidak hanya mampu menghancurkan bakteri dan sel debris serta fibrin yang berlebihan, tapi juga mampu merangsang pembentukan fibroblas yang melakukan sintesa struktur protein kolagen dan mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel di akhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Fase ini durasinya 1-6 hari.
Polimorf dan makrofag mudah dipengaruhi oleh turunnya suhu pada tempat luka, sebagaimana yang dapat terjadi bilamana sebuah luka yang basah dibiarkan tetap terbuka, pada saat aktivitas mereka dapat turun sampai nol. Aktivitas mereka dapat juga dihambat oleh agen kimia, hipoksia, dan juga perluasan limbah metabolik yang disebabkan karena buruknya perfusi jaringan.
Fase Proliferatif
Fase kedua ini berdurasi 3-24 hari. Fibroblast memproduksi serabut-serabut kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka dengan cepat. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka.
Kapiler-kapiler dibentuk oleh tunas endotelial, suatu proses yang disebut angiogenesis. Bekuan fibrin yang dihasilkan pada fase I dikeluarkan begitu kapiler baru menyediakan enzim yang diperlukan. Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.
Kapiler baru jumlahnya sangat banyak dan rapuh serta mudah sekali rusak karena penanganan yang kasar, misalnya menarik balutan yang melekat. Vitamin C penting untuk sintesis kolagen. Tanpa vitamin C, sintesis kolagen berhenti, kapiler darah baru rusak dan mengalami perdarahan, serta penyembuhan luka terhenti. Faktor sistemik lain yang dapat memperlambat penyembuhan pada fase ini termasuk defisiensi besi, hipoproteinemia, serta hipoksia. Fase proliferatif terus berlangsung secara lebih lambat seiring dengan bertambahnya usia.
Fase Maturasi
Pada fase ini terjadi epitelialisasi, kontraksi dan reorganisasi jaringan ikat. Dalam setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka dan dari sisa-sisa folikel rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorifera, membelah dan mulai bermigrasi di atas jaringan granulasi baru. Karena jaringan tersebut hanya dapat bergerak di atas jaringan yang hidup, maka mereka lewat di bawah scab (keropeng). Apabila jaringan tersebut bertemu dengan sel-sel epitel lain yang juga mengalami migrasi, maka mitosis berhenti, akibat inhibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan oleh miofibroblas kontraktil yang membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan progresif dalam vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut-serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan luka meningkat. Fase ini berdurasi 24-365 hari.
Pada fase ini luka masih sangat rentan terhadap trauma mekanis (hanya 50% kekuatan regangan normal dari kulit diperoleh kembali dalam tiga bulan pertama). Epitelialisasi terjadi sampai tiga kali lebih cepat di lingkungan yang lembab (di bawah balutan oklusif atau balutan semipermeabel) daripada di lingkungan yang kering. Kontraksi luka biasanya merupakan suatu fenomena yang sangat membantu, yakni menurunkan daerah permukaan luka dan meninggalkan jaringan parut yang relatif kecil, tetapi kontraksi berlanjut dengan buruk pada daerah tertentu, seperti di atas tibia, dan dapat menyebabkan distorsi penampilan pada cedera wajah. Kadang, jaringan fibrosa pada dermis menjadi sangat hipertrofi, kemerahan dan menonjol, yang pada kasus ekstrim menyebabkan jaringan parut keloid yang tidak sedap di pandang.
0 komentar:
Posting Komentar