Powered By Blogger

Minggu, 27 Februari 2011

Faktor Yang Memperlambat Penyembuhan Luka

Faktor-faktor lokal yang merugikan di tempat luka yang dapat memperlambat penyembuhan meliputi kurangnya suplai darah, hipoksia, dehidrasi, eksudat yang berlebihan, turunnya temperatur, jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan, adanya benda asing, dan trauma yang berulang.

Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia
Luka dengan suplai darah yang buruk sembuh dengan lambat. Jika faktor-faktor yang esensial untuk penyembuhan seperti oksigen, asam amino, vitamin dan mineral sangat lambat mencapai luka karena lemahnya vaskulerisasi, maka penyembuhan luka tersebut akan terhambat, meskipun pada pasien-pasien yang nutrisinya baik.
Beberapa area tubuh, seperti wajah, mempunyai suplai darah yang baik, yang sangat sulit untuk terganggu, sementara daerah-daerah yang lain, seperti kulit diatas tibia, merupakan daerah yang buruk suplai darahnya, sehingga trauma yang minimal sekalipun, dapat menyebabkan ulkus tungkai yang sulit ditangani pada beberapa pasien.
Tepian luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi. Dalam hal ini, hipoksia menghalangi mitosis dalam sel-sel epitel dan fibroblas yang bermigrasi, sintesa kolagen, dan kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna. Untuk mengatasinya, diupayakan tekanan parsial oksigen pada tempat luka rendah, sehingga makrofag memproduksi suatu faktor yang dapat merangsang angiogenesis. Dengan merangsang pertumbuhan kapiler-kapiler darah yang baru, maka masalah hipoksia dapat diatasi.

Dehidrasi
Jika luka terbuka dibiarkan terkena udara, maka lapisan permukaannya akan mengering. Sel-sel epitel pada tepi luka bergerak ke bawah, di bawah lapisan tersebut, sampai sel-sel tersebut mencapai kondisi lembab yang memungkinkan mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak. Waktu yang panjang akibat membiarkan luka itu mengering mengakibatkan lebih banyak jaringan yang hilang dan menimbulkan jaringan parut, yang akhirnya dapat menghambat penyembuhan. Jika sebuah luka dipertahankan tetap lembab di bawah pembalut semipermeabel atau pembalut oklusif, maka penyembuhan dapat terjadi jauh lebih cepat.

Eksudat berlebihan
Terdapat suatu keseimbangan antara kebutuhan akan lingkungan luka yang lembab dan kebutuhan untuk mengeluarkan eksudat berlebihan yang dapat mengakibatkan terlepasnya jaringan. Eksotoksin dan sel-sel debris yang berada di dalam eksudat dapat memperlambat penyembuhan dengan cara memperpanjang respon inflamasi.

Turunnya temperatur
Aktivitas fagositik dan mitosis mudah terpengaruh oleh penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira di bawah 280 C, aktivitas leukosit dapat turun sampai nol. Apabila luka basah dibiarkan terbuka lama pada saat mengganti balutan, atau saat menunggu pemeriksaan dokter, maka temperatur permukaan dapat menurun sampai paling rendah 120 C. Pemulihan jaringan ke suhu tubuh dan aktivitas mitosis sempurna, dapat memakan waktu sampai 3 jam.

Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan, dan benda asing
Adanya jaringan nekrotik dan krusta yang berlebihan di tempat luka dapat memperlambat penyembuhan dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi klinis. Demikian juga, adanya segala bentuk benda asing termasuk bahan-bahan jahitan dan drain luka. Oleh karena itulah maka sangat penting untuk mengeluarkan kontaminan organik maupun anorganik secepat mungkin tetapi dengan trauma yang minimal terhadap jaringan yang utuh.

Hematoma
Dimana sebuah luka telah ditutup secara bedah, baik dengan jahitan primer, graft kulit ataupun dengan pemindahan flap jaringan, penyebab penting dari terlambatnya penyembuhan adalah terjadinya hematoma. Hematoma dapat menyebabkan komplikasi melalui beberapa cara :
Hematoma menyediakan media pembiakan yang sangat baik bagi mikroorganisme, yang mungkin dalam keadaan lain hanyalah organisme komensal, sehingga dapat meningkatkan resiko infeksi dan kerusakan luka.
Hematoma meningkatkan regangan pada luka.
Hematoma bertindak seperti sebuah benda asing, yang dapat menyebabkan fibrosis jaringan parut yang berlebihan.

Trauma berulang
Pada sebuah luka terbuka, trauma mekanis dengan mudah merusak jaringan granulasi yang penuh dengan pembuluh darah dan mudah pecah, epitelium yang baru saja terbentuk dan dapat menyebabkan luka sehingga kembali ke keadaan fase respon inflamasi akut.
Trauma berulang dapat disebabkan oleh berbagai hal. Penderita dekubitus yang berbaring dengan bagian yang sakit mendapat tekanan dan gesekan dari tempat tidurnya, menyebabkan kerusakan lapisan kulit yang tak dapat dihindarkan sehingga dapat merusak penyembuhan jaringan yang masih sangat lunak, sehingga luka dekubitus justru akan bertambah besar. Trauma juga dapat disebabkan oleh pelepasan balutan yang kurang hati-hati. Bahkan pada saat dilakukan perawatan yang baik sekalipun, beberapa trauma terhadap luka masih sangat mungkin terjadi jika menggunakan kasa yang ditempelkan langsung pada permukaan luka, sehingga lengkung kapiler darah tumbuh melalui rajutan serat kapas dan dapat terobek pada saat balutan itu dilepaskan. Banyak balutan yang seharusnya hanya memiliki daya rendah, dapat merekat erat pada luka jika dibiarkan terpasang terlalu lama, terutama jika terjadi pengeluaran eksudat dan luka itu mengering. Perdarahan luka saat pelepasan balutan adalah tanda trauma yang jelas. 

Penurunan suplai oksigen
Oksigen memainkan peranan penting di dalam pembentukan kolagen, kapiler-kapiler baru, dan perbaikan epitel, serta pengendalian infeksi. Jumlah oksigen yang dikirimkan untuk sebuah luka tergantung pada tekanan parsial oksigen didalam darah, tingkat perfusi jaringan, dan volume darah total. Kebutuhan oksigen di tempat luka memang cukup tinggi.

Penurunan pasokan oksigen terhadap luka dapat disebabkan oleh :
Gangguan respirasi : penurunan efisiensi pertukaran gas dalam paru-paru , karena penyebab apapun, dapat menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen di dalam darah dan akhirnya terjadi penurunan ketersediaan oksigen untuk jaringan.
Gangguan kardiovaskuler : dapat mengurangi tingkat perfusi jaringan. Hal tersebut secara khusus bermakna pada saat sirkulasi perifer terganggu, seperti pada diabetes dimana terdapat mikroangiopati, artritis rematoid, atau dimana terdapat kerusakan katup pada vena-vena profunda dan vena yang mengalami perforasi sehingga menyebabkan hipertensi vena kronik serta oedema lokal.
Anemia : Apapun penyebabnya, pada anemia terjadi penurunan kapasitas darah yang mengangkut oksigen. Secara khusus, hal tersebut sangat penting apabila dihubungkan dengan hipovolemia akibat perdarahan.
Hemoragi : Untuk mempertahankan tekanan darah dan suplai darah yang adekuat ke jantung, otak, dan organ-organ vital lainnya, maka vasokonstriksi perifer dapat mengiringi perdarahan besar. Tingkat penutupan perifer akan bergantung pada beratnya kehilangan darah. Turunnya suplai darah perifer dapat menyebabkan terlambatnya penyembuhan sampai volume darah dipulihkan kembali.

Malnutrisi
Kebutuhan kalori dan protein pasien hampir pasti menjadi lebih tinggi daripada orang normal ketika terdapat luka yang besar. Asam amino diperlukan untuk sintesis protein struktural seperti kolagen dan untuk melakukan sintesa protein yang berperan di dalam respon imun. Pada stadium awal setelah luka yang besar, berbagai sistem endokrin dan sistem saraf mengadakan reaksi terhadap cedera yang kemudian memicu proses-proses katabolik yang merusak jaringan tubuhnya sendiri untuk menyediakan bahan-bahan yang diperlukan bagi proses perbaikan yang sifatnya segera. Bahkan pada luka terbuka yang kronis, seperti dekubitus, protein dalam jumlah yang signifikan dapat juga hilang dalam eksudat.
Defisiensi protein tidak hanya memperlambat penyembuhan, tetapi juga mengakibatkan luka tersebut sembuh dengan kekuatan regangan yang menyusut. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya dehiscence pada pasien gemuk dengan luka laparotomi atau menyebabkan cepat hancurnya dekubitus yang baru saja sembuh hanya akibat trauma kecil saja.
Konsumsi vitamin dan mineral yang cukup juga diperlukan untuk penyembuhan yang optimal. Vitamin A untuk membantu pembentukan jaringan yang luka. Vitamin B1 untuk mensintesis kolagen. Vitamin B5 untuk mempercepat proses penyembuhan. Vitamin C diperlukan untuk sintesa kolagen. Vitamin E untuk membantu menghilangkan bekas luka.
Zinc mempunyai peranan khusus dalam metabolisme kulit dan jaringan ikat. Khususnya pada pasien pasca operasi, diberikan zinc (ZnSO4) untuk mempercepat penutupan luka akibat proses operasi.
Kemampuan Zinc dalam mempercepat penutupan luka ini disebabkan karena zinc mempunyai peranan yang penting dalam sintesa protein dan proses replikasi sel. Struktur kulit kita terdiri dari jaringan ikat yang tersusun oleh protein. Pada kondisi defisiensi zinc, maka proses sintesa protein dan replikasi dari sel-sel jaringan ikat bawah kulit akan menjadi terhambat. Sehingga proses penutupan luka akan terhambat pula.
Makanan yang tinggi kandungan zinc-nya antara lain adalah; daging, kerang-kerangan, biji-bijian, serealia dan kacang-kacangan. Namun kandungan zinc terbanyak ditemukan pada makanan kacang-kacangan. Kebutuhan zinc perharinya adalah 15 mg untuk dewasa. Dari jumlah tersebut hanya 20-30% saja yang diserap oleh tubuh kita. Kebutuhan tubuh akan zinc akan meningkat pada kondisi tubuh seperti proses pertumbuhan , penyakit ginjal, hemodialisa (cuci darah), kecanduan alkohol serta rematik.

Penurunan daya tahan terhadap infeksi
Penurunan daya tahan terhadap infeksi, seperti pada pasien-pasien dengan gangguan imun, diabetes, atau infeksi kronis, akan memperlambat penyembuhan karena berkurangnya efisiensi sistem imun. Infeksi kronis juga mengakibatkan katabolisme dan habisnya timbunan protein, yang merupakan sumber-sumber endogen infeksi luka yang pernah ada.

Pengaruh fisiologis dari proses penuaan normal
Terdapat perbedaan yang signifikan di dalam struktur dan karakteristik kulit sepanjang rentang kehidupan, yang disertai dengan perubahan fisiologis normal berkaitan dengan usia yang terjadi pada sistem tubuh lainnya, yang dapat mempengaruhi predisposisi terhadap cedera dan efisiensi mekanisme penyembuhan luka. Beberapa dari perbedaan ini dan dampak klinisnya dibahas secara kronologis, dimulai dengan bayi praterm.
Masalah-masalah akibat dari barier kulit yang lemah pada neonatus matur agak jarang terjadi, tetapi bayi-bayi praterm memiliki sistem barier kulit yang jauh kurang efektif dan kulitnya sangat mudah terkena trauma, akibat stratum korneum yang tipis dan buruk perkembangannya, dan karena instabilitas epidermal-dermal. Hal tersebut mempunyai implikasi penting terhadap berbagai aspek asuhan keperawatan bagi bayi-bayi praterm :
Pemilihan dan penggunaan sabun, serta frekuensi mandi.
Penggunaan obat-obat topikal, seperti antiseptik, krim steroid, dan krim pelembut, yang mungkin saja diserap secara berlebihan melalui perkutaneus.
Pencegahan nekrosis akibat tekanan, khususnya pada oksiput.
Pemilihan metode untuk mengamankan peralatan dan perkakas lain. Hal tersebut secara khusus penting supaya tidak memasang peralatan pada bayi praterm dengan plester yang mengandung zat adesif kuat, karena kerusakan epidermal yang besar dapat terjadi saat plester dilepaskan.
Karena sistem imun yang masih lemah, bayi-bayi praterm sangat rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi pangkal umbilikus oleh organisme gram negatif dan infeksi S. Aureus, Candida, dan infeksi yang melibatkan stafilokokus koagulase negatif, yang normalnya hanya merupakan koloni pada kulit.
Kulit pada neonatus aterm jauh lebih sehat dan tidak mudah terkena infeksi, karena stratum korneum dan dermisnya jauh lebih tebal dibandingkan dengan bayi praterm, selain itu sistem imunnya juga jauh lebih berkembang. Meskipun kulit pada hakekatnya adalah steril sewaktu lahir, tetapi kolonisasi terjadi secara cepat dan dalam waktu 6 minggu kulit bayi telah mempunyai flora mikrobial yang dapat disejajarkan dengan kulit orang dewasa. Lapisan dermis bertambah tebal selama 1-3 tahun dan menjadi dua kali lebih tebal selama tahun ke 4-7.
Kulit utuh pada orang dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier yang baik terhadap trauma mekanis dan infeksi, begitu juga dengan efisiensi sistem imun, sistem kardiovaskular, dan sistem respirasi, yang memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Menginjak usia 30 tahun mulai terjadi perubahan-perubahan signifikan yang berhubungan dengan usia, meliputi penurunan dalam frekuensi penggantian sel epidermis, respon inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi barier kulit. Sehingga, penyembuhan luka menjadi lebih lambat.

Merokok
Nikotin dalam rokok akan menyebabkan diameter pembuluh darah mengecil sehingga aliran darah yang membawa oksigen ke daerah luka juga akan berkurang. Selain itu, rokok juga akan menghambat pembentukan beberapa sel yang penting dalam penyembuhan luka. Karbon monoksida dalam rokok juga akan berkompetisi dengan oksigen, sehingga jaringan luka kekurangan oksigen. Hal ini dapat menimbulkan kematian dari jaringan. Hidrogen sianida, racun yang menghambat metabolisme antar sel dan kemampuan sel dalam menggunakan oksigen.

Stres yang berlangsung lama akan meningkatkan hormon steroid dalam tubuh. Energi dalam tubuh akan dipakai untuk mengatasi keadaan stres sehingga penyembuhan luka menjadi terhambat. Faktor-faktor psikososial yang menghambat penyembuhan luka adalah :

Makna atau signifikansi luka bagi pasien
1. Kepribadian dan konsep diri
2. Efek terhadap hubungan sosial
3. Pekerjaan sebelum sakit
4. Fleksibilitas peran
5. Peristiwa kehidupan lainnya yang terjadi secara bersamaan
6. Situasi finansial
Ketersediaan dukungan sosial
Keakuratan penilaian oleh pasien tentang prognosis
1. Pengharapan dan nasihat dokter dan/atau perawat
2. Pemahaman pasien tentang masalah dan pengobatan
3. Pengharapan berdasarkan pada pengalaman masa lalu
4. Penerimaan pasien tentang kebutuhan akan pengobatan
5. Kepribadian dan intelegensia pasien

Obat-obat sitotoksik seperti vinkristin mempunyai pengaruh yang sangat kentara pada penyembuhan luka karena obat tersebut mengganggu proliferasi sel. Terapi steroid jangka panjang juga dapat memperlambat penyembuhan, tetapi hanya selama fase inflamasi dan fase proliferatif, yaitu dengan cara menekan multiplikasi fibroblas dan sistem kolagen. Obat-obat anti-inflamasi non steroid tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap penyembuhan luka dalam dosis terapeutik normal.

Radioterapi (pengobatan penyakit keganasan) dapat mengakibatkan kerusakan lokal, menghambat pembentukan kolagen sehingga memperlambat penyembuhan, dan juga dapat menyebabkan kelemahan yang berkepanjangan di dalam jaringan, khususnya jaringan kulit.

Penanganan luka yang tepat, mulai dari pengkajian sampai memilih antiseptik dan balutan sangat menentukan kecepatan penyembuhan luka. Berikut adalah contoh penanganan luka yang tidak tepat :
1. Gagal mengkaji luka secara akurat dan gagal untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat menyebabkan terlambatnya penyembuhan luka.
2. Pemilihan produk-produk perawatan luka yang kurang sesuai atau justru berbahaya.
3. Teknik pembalutan luka yang kurang hati-hati.
4. Mengganti tatacara pembalutan sebelum mempunyai cukup waktu untuk menjadikan balutan tersebut efektif.
5. Gagal membuat gambaran penyembuhan dan gagal mengevaluasi efektivitas program pengobatan.
6. Perilaku negatif terhadap penyembuhan.

Referensi bab faktor-faktor yang memperlambat penyembuhan luka (1-5) : Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 (Potter&Perry), Manajemen Luka (Moya J. Morison, 2003). Seriously recommended this book to strengthen your basic woundcare-knowledge…

0 komentar:

Posting Komentar